Senin, 07 Mei 2012

<object classid="clsid:D27CDB6E-AE6D-11cf-96B8-444553540000" codebase="http://download.macromedia.com/pub/shockwave/cabs/flash/swflash.cab#version=9,0,0,0" width="728" height="90">
<param name="movie" value="flashvortex.swf" />
<param name="quality" value="best" />
<param name="menu" value="true" />
<param name="allowScriptAccess" value="sameDomain" />
<embed src="flashvortex.swf" quality="best" menu="true" width="728" height="90" type="application/x-shockwave-flash" pluginspage="http://www.macromedia.com/go/getflashplayer" allowScriptAccess="sameDomain" />
</object>
FlashVortex.com

Minggu, 06 Mei 2012

<script src="http://h2.flashvortex.com/display.php?id=2_1336372980_63115_442_0_728_90_9_2_38" type="text/javascript"></script>
Add caption

Rabu, 02 Mei 2012

CERITA WAYANG

Sesaji Raja Suya

                Kacarita Prabu Brehidata (Darmawisesa) kagungan garwa loro, kang loro-lorone anggarbini lan nglairake bareng. Nanging jabang bayi saka garwa loro iku wujude ora sampurna, awake pisah klawan sirahe. Tumrap Prabu Brehidata jabang bayi kui mau kaanggep bisa andadekake negara bakal akeh sambekala. Mula jabang bayi kang ora sampurna mau banjur disingkirake dening Prabu Brehidata. Diguwang ing satengahing alas kang adoh saka manungsa.
                Ing satengahe alas gung liwang-liwung ana sawijining jin kang ambaureksa aran Jin Jara. Jabang bayi kang diguwang mau ditemu Jin Jara. Bayi kang wujude ora sampurna kaya sak lumrahe jabang bayi banjur digathukake dening Jin Jara kang sekti. Banjur digulawentah nganti dewasa lan dadi manungsa kang sekti mandraguna kang duweni watak bengis, angkara murka, kang aran Jarasanda.
                Dening Jin Jara banjur dicaritani bibit sakawite utawa riwayate nganti diguwang menyang alas dening ramane dewe (Prabu Brehidata). Jarasanda gumregah atine banjur tuwuh krenteg bakal males marang ramane kang wis tega ngguwang dheweke. Jarasanda mulih menyang negarane, ngadhepi ramane. Prabu Brehidata dibeset kulite dening Jarasanda banjur kulite ramane mau didadekake piandele supaya tambah kasektene. Jarasanda banjur madeg dadi ratu ngganteni Prabu Brehidata (ramane).
                Jarasanda ngikrarake awake bakal nguwasani Ngamarta lan Dwarawati, tanpa nggatekake caos pemute para abdi dalem. Jarasanda kang kukuh lan angkara kepingin nguwasani jagad raya. Satus negara bakal dikuwasani lan ditaklukake. Kabyantu Prabu Supala uga pangglembuke Sengkuni. Kanggo mujudake krenteg atine mau Jarasanda duwe karep nganakake sesaji awujud getihe ratu satus negara. Sesaji mau katujokake marang Bathari Durga.
                Amarga niat ala mau nerak kodrating urip lan ngrusak katentreman jagad raya. Jarasanda diadepi dening Bathara Wisnu, Prabu Kresna, Puntadewa, lan Baladewa. Prabu Jarasanda utusan marang abdine aran Prabu Hamsa kinen nglurug menyang Ngamarta. Prabu Jarasanda kapapag dening Setyaki. Setyaki ora lila yen Ngamarta dikalahake dening Prabu Jarasanda. Ing peperangan Setyaki kasoran dening Jarasanda.
                Prabu Kresna dhawuh marang Werkudara kinen mateni Prabu Jarasanda. Ing peperangan Jarasanda mati dening Werkudara nanging bisa urip meneh. Saben-saben diperjaya urip meneh, ngono sateruse. Werkudara banjur matur marang Prabu Kresna, ngandharake apa kang dadi perkarane. Prabu Kresna paring wewarah marang Werkudara bab pangapesane Prabu Jarasanda.
                Prabu Jarasanda bisa urip meneh saben-saben dipateni amarga duweni aji-aji yaiku awake kang
kablebet kulite ramane. Prabu Jarasanda bisa mati menawa awake ditugel dadi loro kaya nalika isih jabang bayi. Kocap kacarita Prabu Jarasanda kang wis tanpa daya banjur ditugel awake dadi loro dening Werkudara. Prabu Jarasanda tumekaning pati.
                Sakpatine Prabu Jarasanda, Yudhistira madeg ratu lan Prabu Kresna kang dadi pamonge. Negara dadi ayem tentrem raharjo kalis ing sambekala.





Tokoh Protagonis :                                                                                        
v  Bima / Werkudara
v  Prabu Kresna
v  Setyaki
v  Bathara Wisnu                                                                                  
Tokoh Antagonis :
v  Jarasanda
v  Hamsa
v  Supala
v  Sengkuni
v  Jin Jara

KHASANAH BUDAYA SURAKARTA


TRADISI SURAN

A.     Kalender Jawa dan Watak Tahun Jawa
1.      Kalender Jawa
Tradisi Suran tidak bisa dilepaskan dengan penanggalan Jawa. Penanggalan Jawa yang juga disebut kalender Jawa, tidak bisa dilepaskan dengan petungan Jawa. Sultan Agung mengubah sistem penanggalan dari sistem matahari atau syamsiyah menjadi sistem bulan atau komariah. Dasar penanggalan kalender Hijriah dan kalender Jawa sama yakni penampakan bulan. Kalender Jawa merupakan penggabungan antara kalender Saka dengan kalender Hijriah. Pergantian kalender Jawa dimulai pada 1 Sura tahun Alif 1555 yang jatuh pada 1 Muharam 1042, sama dengan kalender Masehi 8 Juli 1633. Nama-nama bulan kalender Jawa yaitu Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Syawal, Dulkhaidah, Besar. Adapun nama hari kalender Jawa yaitu Senen, Seloso, Rebo, Kemis, Jemuah, Setu, Ahad.
Sistem perhitungan Jawa oleh sebagian besar masyarakat Jawa masih menjadi acuan untuk melakukan kegiatan atau menunda pekerjaan. Misalnya saja sebagian besar masyarakat Jawa menghindari mempunyai hajatan pada bulan Sura. Selain itu, masyarakat Jawa juga menghindari untuk melakukan pindah rumah ataupun mantu pada bulan Sura. Menurut mereka, bulan Sura adalah bulan yang keramat. Orang Jawa mempunyai keyakinan yang kuat tentang bulan Sura ini karena bulan Sura merupakan dimensi waktu yang kurang baik untuk melakukan segala sesuatu tentang pekerjaan.
Pada bulan Sura masyarakat Jawa melakukan banyak laku prihatin, lebih-lebih menjelang tahun baru Jawa atau menjelang 1 Sura. Laku prihatin itu dilakukan dengan cara tirakatan, seperti tidak tidur semalam suntuk, lalu menyucikan diri dengan mandi air bunga setaman yang airnya diambil dari dari tujuh sumber mata air. Tirakatan juga bisa dilakukan dengan berjalan-jalan semalam suntuk, berjalan mengelilingi benteng keraton dengan tapa bisu, dan bisa juga dilakukan dengan berendam di air pertemuan (tempuran) dua sungai atau lebih. Pada hari sebelum tanggal 1 Sura diadakan penjamasan benda-benda pusaka baik milik keraton maupun milik pribadi. Budaya 1 Sura ini sampai sekarang masih tetap berlangsung. Masyarakt Jawa masih memandang adanya keseimbangan antara dunia mikrokosmos dengan makrokosmos. Nilai-nilai pergantian tahun Jawa sebagai salah satu acuan dalam menghadapi tantangan hidup. Pada bulan 1 Sura ini masyarakat pantang berpesta pora, tetapi justru giat melaksanakan kegiatan ritual.
Ada usaha penyesuaian antara tahun Hijriyah dengan tahun Jawa. Hal ini memang dimaksudkan agar hari besar Islam dan hari besar masyarakat Jawa yang berorientasi pada nilai-nilai agama Islam dapat bersifat sikretis. Namun demikian, tidak jarang tahun baru Hijriah dengan tahun baru Jawa tidak bersamaan, berbeda beberapa hari.

2.      Watak Penanggalan Jawa
Masyarakat Jawa memiliki ilmu Titen yakni mengamati peristiwa-peristiwa alam yang terjadi secara konsisten. Begitu juga dalam peredaran hari yang didasarkan pada jatuhnya tanggal 1 Sura, memiliki watak Bawana atau pengaruh tahun Jawa sebagai berikut.
a.      Apabila 1 Sura jatuh pada hari Senin disebut tahun Soma Wrejita atau disebut tahun cacing. Pada tahun cacing akan terjadi banyak hujan.
b.      Apabila 1 Sura jatuh pada hari Selasa disebut tahun Anggara Wrejita atau disebut tahun katak. Pada tahun katak ini juga akan terjadi banyak hujan.
c.       Apabila 1 Sura jatuh pada hari Rabu disebut Buda Wisaba atau disebut tahun kerbau. Pada tahun kerbau juga akan terjadi banyak hujan.
d.      Apabila 1 Sura jatuh pada hari Kamis disebut Respati Mintuna atau disebut tahun mimi. Pada tahun mimi akan terjadi banyak hujan pula.
e.      Apabila 1 Sura jatuh pada hari Jumat disebut Sukra Minangkara atau disebut tahun udang. Tahun udang ini juga akan terjadi banyak hujan.
f.        Apabila 1 Sura jatuh pada hari Sabtu disebut Tumpak Menda atau tahun kambing. Pada tahun kambing tidak banyak hujan.
g.      Apabila 1 Sura jatuh pada hari Minggu disebut Dite Kalaba atau disebut tahun kelabang. Tahun kelabang mempunyai watak jarang hujan.

B.      Persepsi Tanggal Satu Sura

1.      Satu Sura dianggap Sakral
Bagi masyarakat Jawa tanggal 1 Sura dianggap sakral. Tanggal 1 Sura dan bulan Sura merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem dan keyakinan orang Jawa yang belum bisa meninggalkan keyakinan lama yakni agama Hindu.  Adat istiadat Jawa tidak bisa dilepaskan dengan keyakinan Hindu dan Buddha tersebut. Masyarakat Jawa memandang tanggal 1 Sura sebagai hari yang wingit dan sakral sehingga perlu melakukan kegiatan yang sifatnya merenung, menyucikan diri, prihatin dan banyak berdoa. Bulan Sura menjadi bulan yang penuh doa, banyak introspeksi diri, menjauhi sifat yang mengumbar kesenangan, dan menghindari pesta-pesta.
Masyarakat Jawa mempunyai keyakinan dengan hal-hal yang berbau gaib, gejala alam, dan peristiwa-peristiwa alam. Untuk menghormati hari yang sakral ini ada sebagian masyarakat Jawa yang melakukan ritual, di antaranya:
a.      Dengan berpuasa;
b.      Berendam di pertemuan dua sungai (tempuran);
c.       Berjalan mengelilingi benteng keraton atau mengelilingi desa;
d.      Tapa bisu atau bertapa tidak berbicara;
e.      Tirakatan di tempat tertentu yang dianggap wingit;
f.        Melek atau tidur semalam suntuk;
g.      Penjamasan pusaka; dan
h.      Melihat pertunjukan wayang kulit maupun wayang wong.

2.      Pertunjukan Wayang Wong (Wayang Orang) di Sriwedari pada Tanggal 1 Sura
Dalam rangka menyambut 1 Sura di Sriwedari, Solo, diadakan pertunjukan wayang wong (wayang orang) semalam suntuk. Pertunjukan wayang wong khusus untuk menyambut 1 Sura itu merupakan wujud perpaduan budaya yang di dalamnya ada unsure-unsur etis, estetis, filosofis, dan religious. Kesenian wayang wong merupakan seni tradisi yang bersumber pada cerita Ramayana dan Mahabharata. Banyak ajaran dan nilai-nilai moral dalam cerita wayang wong yang diinterpretasikan oleh masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Interpretasi masyarakat Jawa itu bisa dilihat dengan adanya nama-nama tokoh wayang yang diberikan kepada anak keturunannya, memasang tokoh wayang yang menjadi idolanya di dinding rumahnya, membuat puisi atau tembang berdasarkan sifat tokoh wayang yang diidolakannya, membuat lukisan atau membatik tokoh-tokoh wayang yang menjadi idolanya.
Pentas wayang wong 1 Sura bagi para pemain dan penonton mempunyai makna yang dalam, yaitu laku tirakat untuk introspeksi diri atas tingkah laku dan perbuatan yang selama ini telah ia lakukan dan merenung tentang peristiwa-peristiwa dalam kehidupannya, lalu melangkah menuju kebaikan. Pertunjukan wayang wong bagi para pemainnya bisa dijadikan ajang silaturahmi di antara pemain yang berasal dari beberapa daerah. Secara sosial pentas seni 1 Sura mampu meningkatkan solidaritas dan kesetiakawanan antar sesama seniman wayang wong. Pertunjukan wayang wong 1 Sura bagi penonton bisa dijadikan sebagai laku tirakat agar tahan melek semalam. Selain itu, juga bisa dijadikan ajang silaturahmi baik dengan rekan maupun sanak saudara, serta bisa mengingatkan perilaku kita yang kurang baik untuk diperbaiki menuju tingkah laku yang utama.
Sebagian besar penonton wayang wong 1 Sura di Sriwedari ini berasal dari masyarakat kebanyakan yang menjadi penggemar setia pertunjukkan wayang wong. Mereka kebanyakan berasal dari kota Solo, Boyolali, Sragen, Karanganyar, Klaton dan Sukoharjo karena kota-kota tersebut jaraknya tidak begitu jauh. Namun ada pula penonton yang temporal, maksudnya menonton karena ajakan teman atau saudara.
Dalam pertunjukan wayang wong segala sesuatunya dilakukan dengan tarian. Kesempurnaan hidup senantiasa tercermin di setiap tokoh dalam bentuk contoh perilaku yang selalu membela kebenaran  dan bersifat ksatria yang dilakonkan oleh para ksatria. Pertunjukan wayang wong Sriwedari semalam suntuk yang diselenggarakan untuk menyambut tahun baru Jawa merupakan bentuk ekspresi individual dan kolektif masyarakat Jawa dan merupakan bentuk tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun. Kaitan antara laku prihatin 1 Sura dengan nilai etika moral wayang wong tetap mendasari etika Jawa dan masih relevan dengan kondisi kebutuhan masyarakat pada zamannya. Tirakatan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Sura merupakan upaya manusia untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan hidupnya. Selain itu, juga menjadi ajaran Jawa untuk mencari kesempurnaan hidup lahir dan batin melalui tirakat dan laku prihatin. Kepedulian masyarakat Jawa akan malam 1 Sura dan pertunjukan wayang wong merupakan suatu modal untuk melestarikan adat istiadat sekaligus untuk melestarikan kesenian tradisional Jawa.

Daftar Pustaka :
1.      http/www.budayajawa.co.id
2.      Herawati Nenik. 2011. Mutiara Kebudayaan Jawa. Surakarta : Gramedia.

LEGENDA DALAM BAHASA JAWA

Wana Kethu

            Kasebat wonten ing jaman Kraton Demak, wonten satunggaling pawongan ingkang sekti mandraguna ingkang jejuluk Ki Kesdik Wacana, ingkang nembe anglampahi tapa wonten ing salah satunggaling redi ingkang kalebet wonten pareden Sewu (pegunungan Seribu). Pareden kalawau kinupeng wana gung liwang-liwung ingkang kathah sato kewan ingkang galak. Sasanesipun menika kaendahan alamipun sanget edipeni. Dening panguwaos Kraton Demak, papan menika dipundadosaken papan pariwisata tumrap para Raja.
            Kacarita wonten iring-iringan Raja ingkang dipundherekaken dening para pengiring lan senopatinipun, saperlu badhe mbebedhag kidang. Kidang menika wonten ingkang dipunagem pesta wonten ing wana, namung wonten ugi ingkang dipunbekta kondur dhateng kraton. Papan ingkang kangge pesta kalawau tundhonipun dipunparinggi tetenger Desa Seneng, ingkang tegesipun papan kangge seneng-seneng. Dumugi samenika papan kalawau dados papan ingkang reja. Nate dipundadosaken markas Raden Mas Said utawi Pangeran Sambernyawa kangge mengsah kompeni Walanda.
            Ing satunggaling wekdal, Raja Demak ngutus satunggaling abdinipun ingkang nami Raden Panji saperlu amanggihi Pendhita Ki Kesdik Wacana, ingkang mengku wigati sang Raja mundhut anak kidang ingkang sae, kangge klangenan wonten ing kraton. Sang pendhita minangkani pamundhutipun sang Raja kasebut. Anak kidang kalawau dipunlebetaken wonten ing satunggaling papan ingkang dipundamel saking pring (bumbung) salajengipun dipuntutup. Bumbung kalawau dipunparingaken Raden Panji, kanthi piweling (wanti-wanti) “Ampun ngantos dipunbikak tutupipun menawi dereng dumugi wonten ngarsanipun sang Prabu ing Demak”.
            Ing salebeting penggalih Raden Panji tansah enget menapa ingkang dipundhawuhaken Ki Kesdik Wacana bilih bumbung ingkang dipunparingaken mboten kepareng dipunbikak menawi dereng dumugi ing ngarsanipun sang Prabu. Ingkang dados gumunipun, sang Prabu ngersakaken anak kidang, ananging kenging menapa dening Ki Kesdik Wacana malah dipunparingi bumbung ingkang dipunsumpet. Sanadyan mekaten Raden Panji tansah enget piwelingipun Ki Kesdik.
            Salajengipun Raden panji dumugi wonten ing wana pejaten, Raden panji tansah mirsani bumbung ingkang dipunasta, saengga tuwuh krenteg ing penggalihipun mbikak tutup bumbung kalawau. Namung sasampunipun bumbung dipunbikak tutupipun, Raden Panji kaget dumadakan saking salebeting bumbung kalawau medal sato kewan alit-alit ingkang samsaya dangu samsaya ageng, pranyata sato-sato kewan kalawau mboten sanes inggih menika kidang. Kidang-kidang kalawau cacahipun wonten 16 utawi 8 pasang, sedayanipun sami mlajar dhateng wana.
            Raden Panji enggal-enggal mlajar nututi kidang-kidang ingkang mlajeng dhateng wana kalawau ngantos kethunipun (kopyah) dhawah wonten satengahing wana, namung mboten dipunpenggalih. Kidang- kidang kalawau boten saged kacepang dening Raden Panji. Raden Panji rumaos getun. Dene sampun sembrana, nerak wewaleripun Ki Kesdik Wacana. Raden Panji ajrih sanget menawi ing samangke sang Prabu duka. Raden Panji badhe wangsul dhateng pertapanipun Ki Kesdik Wacana ugi mboten wantun.
            Awit saking sekti mandraguna, Ki Kesdik Wacana saged mangertosi sedaya ingkang kalampahan tumrap Raden Panji, lajeng Ki Kesdik Wacana nungka Raden Panji dhateng wana. Wonten ing satengahing wana Ki Kesdik manggih kethunipun Raden panji ingkang dhawah nalika nututi kidang. Dening Ki Kesdik papan kalawau dipunparingi tetenger “Wana Kethu” (Alas Kethu). Papan menika kalebet wewengkon ing tlatah Wonogiri. Ki kesdik wacana pinanggih kaliyan Raden Panji. Raden Panji daya-daya sungkem wonten ngarsanipun Ki Kesdik nyuwun pangapunten dene sampun tumindak lepat inggih menika nerak angger-anggeripun Ki Kesdik.
            Ngawuningani tangisipun Raden Panji, Ki Kesdik welas ing penggalihipun ananging sasintena ingkang sampun tumindak lepat tetep kapatrapan pidana. Raden Panji dipun sedakaken dados ‘kidang wulung’ ingkang mbaureksa wonten ing wana Kethu kalawau.
            Sinaosa kados pundi sedaya kalawau boten namung cekap dipungetuni amargi sampun kalajeng kapatrapan pidana. Raden Panji kedah nglampahi gesang ingkang enggal minangka pangarsa sedaya kidang ing wana Kethu.