Rabu, 02 Mei 2012

KHASANAH BUDAYA SURAKARTA


TRADISI SURAN

A.     Kalender Jawa dan Watak Tahun Jawa
1.      Kalender Jawa
Tradisi Suran tidak bisa dilepaskan dengan penanggalan Jawa. Penanggalan Jawa yang juga disebut kalender Jawa, tidak bisa dilepaskan dengan petungan Jawa. Sultan Agung mengubah sistem penanggalan dari sistem matahari atau syamsiyah menjadi sistem bulan atau komariah. Dasar penanggalan kalender Hijriah dan kalender Jawa sama yakni penampakan bulan. Kalender Jawa merupakan penggabungan antara kalender Saka dengan kalender Hijriah. Pergantian kalender Jawa dimulai pada 1 Sura tahun Alif 1555 yang jatuh pada 1 Muharam 1042, sama dengan kalender Masehi 8 Juli 1633. Nama-nama bulan kalender Jawa yaitu Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Syawal, Dulkhaidah, Besar. Adapun nama hari kalender Jawa yaitu Senen, Seloso, Rebo, Kemis, Jemuah, Setu, Ahad.
Sistem perhitungan Jawa oleh sebagian besar masyarakat Jawa masih menjadi acuan untuk melakukan kegiatan atau menunda pekerjaan. Misalnya saja sebagian besar masyarakat Jawa menghindari mempunyai hajatan pada bulan Sura. Selain itu, masyarakat Jawa juga menghindari untuk melakukan pindah rumah ataupun mantu pada bulan Sura. Menurut mereka, bulan Sura adalah bulan yang keramat. Orang Jawa mempunyai keyakinan yang kuat tentang bulan Sura ini karena bulan Sura merupakan dimensi waktu yang kurang baik untuk melakukan segala sesuatu tentang pekerjaan.
Pada bulan Sura masyarakat Jawa melakukan banyak laku prihatin, lebih-lebih menjelang tahun baru Jawa atau menjelang 1 Sura. Laku prihatin itu dilakukan dengan cara tirakatan, seperti tidak tidur semalam suntuk, lalu menyucikan diri dengan mandi air bunga setaman yang airnya diambil dari dari tujuh sumber mata air. Tirakatan juga bisa dilakukan dengan berjalan-jalan semalam suntuk, berjalan mengelilingi benteng keraton dengan tapa bisu, dan bisa juga dilakukan dengan berendam di air pertemuan (tempuran) dua sungai atau lebih. Pada hari sebelum tanggal 1 Sura diadakan penjamasan benda-benda pusaka baik milik keraton maupun milik pribadi. Budaya 1 Sura ini sampai sekarang masih tetap berlangsung. Masyarakt Jawa masih memandang adanya keseimbangan antara dunia mikrokosmos dengan makrokosmos. Nilai-nilai pergantian tahun Jawa sebagai salah satu acuan dalam menghadapi tantangan hidup. Pada bulan 1 Sura ini masyarakat pantang berpesta pora, tetapi justru giat melaksanakan kegiatan ritual.
Ada usaha penyesuaian antara tahun Hijriyah dengan tahun Jawa. Hal ini memang dimaksudkan agar hari besar Islam dan hari besar masyarakat Jawa yang berorientasi pada nilai-nilai agama Islam dapat bersifat sikretis. Namun demikian, tidak jarang tahun baru Hijriah dengan tahun baru Jawa tidak bersamaan, berbeda beberapa hari.

2.      Watak Penanggalan Jawa
Masyarakat Jawa memiliki ilmu Titen yakni mengamati peristiwa-peristiwa alam yang terjadi secara konsisten. Begitu juga dalam peredaran hari yang didasarkan pada jatuhnya tanggal 1 Sura, memiliki watak Bawana atau pengaruh tahun Jawa sebagai berikut.
a.      Apabila 1 Sura jatuh pada hari Senin disebut tahun Soma Wrejita atau disebut tahun cacing. Pada tahun cacing akan terjadi banyak hujan.
b.      Apabila 1 Sura jatuh pada hari Selasa disebut tahun Anggara Wrejita atau disebut tahun katak. Pada tahun katak ini juga akan terjadi banyak hujan.
c.       Apabila 1 Sura jatuh pada hari Rabu disebut Buda Wisaba atau disebut tahun kerbau. Pada tahun kerbau juga akan terjadi banyak hujan.
d.      Apabila 1 Sura jatuh pada hari Kamis disebut Respati Mintuna atau disebut tahun mimi. Pada tahun mimi akan terjadi banyak hujan pula.
e.      Apabila 1 Sura jatuh pada hari Jumat disebut Sukra Minangkara atau disebut tahun udang. Tahun udang ini juga akan terjadi banyak hujan.
f.        Apabila 1 Sura jatuh pada hari Sabtu disebut Tumpak Menda atau tahun kambing. Pada tahun kambing tidak banyak hujan.
g.      Apabila 1 Sura jatuh pada hari Minggu disebut Dite Kalaba atau disebut tahun kelabang. Tahun kelabang mempunyai watak jarang hujan.

B.      Persepsi Tanggal Satu Sura

1.      Satu Sura dianggap Sakral
Bagi masyarakat Jawa tanggal 1 Sura dianggap sakral. Tanggal 1 Sura dan bulan Sura merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem dan keyakinan orang Jawa yang belum bisa meninggalkan keyakinan lama yakni agama Hindu.  Adat istiadat Jawa tidak bisa dilepaskan dengan keyakinan Hindu dan Buddha tersebut. Masyarakat Jawa memandang tanggal 1 Sura sebagai hari yang wingit dan sakral sehingga perlu melakukan kegiatan yang sifatnya merenung, menyucikan diri, prihatin dan banyak berdoa. Bulan Sura menjadi bulan yang penuh doa, banyak introspeksi diri, menjauhi sifat yang mengumbar kesenangan, dan menghindari pesta-pesta.
Masyarakat Jawa mempunyai keyakinan dengan hal-hal yang berbau gaib, gejala alam, dan peristiwa-peristiwa alam. Untuk menghormati hari yang sakral ini ada sebagian masyarakat Jawa yang melakukan ritual, di antaranya:
a.      Dengan berpuasa;
b.      Berendam di pertemuan dua sungai (tempuran);
c.       Berjalan mengelilingi benteng keraton atau mengelilingi desa;
d.      Tapa bisu atau bertapa tidak berbicara;
e.      Tirakatan di tempat tertentu yang dianggap wingit;
f.        Melek atau tidur semalam suntuk;
g.      Penjamasan pusaka; dan
h.      Melihat pertunjukan wayang kulit maupun wayang wong.

2.      Pertunjukan Wayang Wong (Wayang Orang) di Sriwedari pada Tanggal 1 Sura
Dalam rangka menyambut 1 Sura di Sriwedari, Solo, diadakan pertunjukan wayang wong (wayang orang) semalam suntuk. Pertunjukan wayang wong khusus untuk menyambut 1 Sura itu merupakan wujud perpaduan budaya yang di dalamnya ada unsure-unsur etis, estetis, filosofis, dan religious. Kesenian wayang wong merupakan seni tradisi yang bersumber pada cerita Ramayana dan Mahabharata. Banyak ajaran dan nilai-nilai moral dalam cerita wayang wong yang diinterpretasikan oleh masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Interpretasi masyarakat Jawa itu bisa dilihat dengan adanya nama-nama tokoh wayang yang diberikan kepada anak keturunannya, memasang tokoh wayang yang menjadi idolanya di dinding rumahnya, membuat puisi atau tembang berdasarkan sifat tokoh wayang yang diidolakannya, membuat lukisan atau membatik tokoh-tokoh wayang yang menjadi idolanya.
Pentas wayang wong 1 Sura bagi para pemain dan penonton mempunyai makna yang dalam, yaitu laku tirakat untuk introspeksi diri atas tingkah laku dan perbuatan yang selama ini telah ia lakukan dan merenung tentang peristiwa-peristiwa dalam kehidupannya, lalu melangkah menuju kebaikan. Pertunjukan wayang wong bagi para pemainnya bisa dijadikan ajang silaturahmi di antara pemain yang berasal dari beberapa daerah. Secara sosial pentas seni 1 Sura mampu meningkatkan solidaritas dan kesetiakawanan antar sesama seniman wayang wong. Pertunjukan wayang wong 1 Sura bagi penonton bisa dijadikan sebagai laku tirakat agar tahan melek semalam. Selain itu, juga bisa dijadikan ajang silaturahmi baik dengan rekan maupun sanak saudara, serta bisa mengingatkan perilaku kita yang kurang baik untuk diperbaiki menuju tingkah laku yang utama.
Sebagian besar penonton wayang wong 1 Sura di Sriwedari ini berasal dari masyarakat kebanyakan yang menjadi penggemar setia pertunjukkan wayang wong. Mereka kebanyakan berasal dari kota Solo, Boyolali, Sragen, Karanganyar, Klaton dan Sukoharjo karena kota-kota tersebut jaraknya tidak begitu jauh. Namun ada pula penonton yang temporal, maksudnya menonton karena ajakan teman atau saudara.
Dalam pertunjukan wayang wong segala sesuatunya dilakukan dengan tarian. Kesempurnaan hidup senantiasa tercermin di setiap tokoh dalam bentuk contoh perilaku yang selalu membela kebenaran  dan bersifat ksatria yang dilakonkan oleh para ksatria. Pertunjukan wayang wong Sriwedari semalam suntuk yang diselenggarakan untuk menyambut tahun baru Jawa merupakan bentuk ekspresi individual dan kolektif masyarakat Jawa dan merupakan bentuk tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun. Kaitan antara laku prihatin 1 Sura dengan nilai etika moral wayang wong tetap mendasari etika Jawa dan masih relevan dengan kondisi kebutuhan masyarakat pada zamannya. Tirakatan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Sura merupakan upaya manusia untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan hidupnya. Selain itu, juga menjadi ajaran Jawa untuk mencari kesempurnaan hidup lahir dan batin melalui tirakat dan laku prihatin. Kepedulian masyarakat Jawa akan malam 1 Sura dan pertunjukan wayang wong merupakan suatu modal untuk melestarikan adat istiadat sekaligus untuk melestarikan kesenian tradisional Jawa.

Daftar Pustaka :
1.      http/www.budayajawa.co.id
2.      Herawati Nenik. 2011. Mutiara Kebudayaan Jawa. Surakarta : Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar