TRADISI SURAN
A. Kalender Jawa dan Watak Tahun Jawa
1.
Kalender Jawa
Tradisi Suran tidak bisa dilepaskan
dengan penanggalan Jawa. Penanggalan Jawa yang juga disebut kalender Jawa,
tidak bisa dilepaskan dengan petungan
Jawa. Sultan Agung mengubah sistem penanggalan dari sistem matahari atau
syamsiyah menjadi sistem bulan atau komariah. Dasar penanggalan kalender
Hijriah dan kalender Jawa sama yakni penampakan bulan. Kalender Jawa merupakan penggabungan
antara kalender Saka dengan kalender Hijriah. Pergantian kalender Jawa dimulai
pada 1 Sura tahun Alif 1555 yang jatuh pada 1 Muharam 1042, sama dengan
kalender Masehi 8 Juli 1633. Nama-nama bulan kalender Jawa yaitu Sura, Sapar,
Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Syawal,
Dulkhaidah, Besar. Adapun nama hari kalender Jawa yaitu Senen, Seloso, Rebo,
Kemis, Jemuah, Setu, Ahad.
Sistem perhitungan Jawa oleh sebagian
besar masyarakat Jawa masih menjadi acuan untuk melakukan kegiatan atau menunda
pekerjaan. Misalnya saja sebagian besar masyarakat Jawa menghindari mempunyai
hajatan pada bulan Sura. Selain itu, masyarakat Jawa juga menghindari untuk
melakukan pindah rumah ataupun mantu pada bulan Sura. Menurut mereka, bulan
Sura adalah bulan yang keramat. Orang Jawa mempunyai keyakinan yang kuat
tentang bulan Sura ini karena bulan Sura merupakan dimensi waktu yang kurang
baik untuk melakukan segala sesuatu tentang pekerjaan.
Pada bulan Sura masyarakat Jawa
melakukan banyak laku prihatin, lebih-lebih menjelang tahun baru Jawa atau
menjelang 1 Sura. Laku prihatin itu dilakukan dengan cara tirakatan, seperti
tidak tidur semalam suntuk, lalu menyucikan diri dengan mandi air bunga setaman
yang airnya diambil dari dari tujuh sumber mata air. Tirakatan juga bisa
dilakukan dengan berjalan-jalan semalam suntuk, berjalan mengelilingi benteng
keraton dengan tapa bisu, dan bisa juga dilakukan dengan berendam di air
pertemuan (tempuran) dua sungai atau
lebih. Pada hari sebelum tanggal 1 Sura diadakan penjamasan benda-benda pusaka
baik milik keraton maupun milik pribadi. Budaya 1 Sura ini sampai sekarang
masih tetap berlangsung. Masyarakt Jawa masih memandang adanya keseimbangan
antara dunia mikrokosmos dengan makrokosmos. Nilai-nilai pergantian tahun Jawa
sebagai salah satu acuan dalam menghadapi tantangan hidup. Pada bulan 1 Sura
ini masyarakat pantang berpesta pora, tetapi justru giat melaksanakan kegiatan
ritual.
Ada usaha penyesuaian antara tahun
Hijriyah dengan tahun Jawa. Hal ini memang dimaksudkan agar hari besar Islam
dan hari besar masyarakat Jawa yang berorientasi pada nilai-nilai agama Islam
dapat bersifat sikretis. Namun demikian, tidak jarang tahun baru Hijriah dengan
tahun baru Jawa tidak bersamaan, berbeda beberapa hari.
2.
Watak Penanggalan Jawa
Masyarakat Jawa memiliki ilmu Titen
yakni mengamati peristiwa-peristiwa alam yang terjadi secara konsisten. Begitu
juga dalam peredaran hari yang didasarkan pada jatuhnya tanggal 1 Sura,
memiliki watak Bawana atau pengaruh tahun Jawa sebagai berikut.
a.
Apabila 1 Sura jatuh pada hari Senin disebut tahun Soma Wrejita atau disebut tahun cacing.
Pada tahun cacing akan terjadi banyak hujan.
b.
Apabila 1 Sura jatuh pada hari Selasa disebut tahun Anggara Wrejita atau disebut tahun
katak. Pada tahun katak ini juga akan terjadi banyak hujan.
c.
Apabila 1 Sura jatuh pada hari Rabu disebut Buda Wisaba atau disebut tahun kerbau.
Pada tahun kerbau juga akan terjadi banyak hujan.
d.
Apabila 1 Sura jatuh pada hari Kamis disebut Respati Mintuna atau disebut tahun mimi.
Pada tahun mimi akan terjadi banyak hujan pula.
e.
Apabila 1 Sura jatuh pada hari Jumat disebut Sukra Minangkara atau disebut tahun
udang. Tahun udang ini juga akan terjadi banyak hujan.
f.
Apabila 1 Sura jatuh pada hari Sabtu disebut Tumpak Menda atau tahun kambing. Pada
tahun kambing tidak banyak hujan.
g.
Apabila 1 Sura jatuh pada hari Minggu disebut Dite Kalaba atau disebut tahun kelabang.
Tahun kelabang mempunyai watak jarang hujan.
B. Persepsi Tanggal Satu Sura
1.
Satu Sura dianggap Sakral
Bagi masyarakat Jawa tanggal 1 Sura
dianggap sakral. Tanggal 1 Sura dan bulan Sura merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem dan keyakinan orang Jawa yang belum bisa meninggalkan
keyakinan lama yakni agama Hindu. Adat
istiadat Jawa tidak bisa dilepaskan dengan keyakinan Hindu dan Buddha tersebut.
Masyarakat Jawa memandang tanggal 1 Sura sebagai hari yang wingit dan sakral
sehingga perlu melakukan kegiatan yang sifatnya merenung, menyucikan diri,
prihatin dan banyak berdoa. Bulan Sura menjadi bulan yang penuh doa, banyak
introspeksi diri, menjauhi sifat yang mengumbar kesenangan, dan menghindari
pesta-pesta.
Masyarakat Jawa mempunyai keyakinan
dengan hal-hal yang berbau gaib, gejala alam, dan peristiwa-peristiwa alam.
Untuk menghormati hari yang sakral ini ada sebagian masyarakat Jawa yang
melakukan ritual, di antaranya:
a.
Dengan berpuasa;
b.
Berendam di pertemuan dua sungai (tempuran);
c.
Berjalan mengelilingi benteng keraton atau mengelilingi desa;
d.
Tapa bisu atau bertapa tidak berbicara;
e.
Tirakatan di tempat tertentu yang dianggap wingit;
f.
Melek atau tidur semalam suntuk;
g.
Penjamasan pusaka; dan
h.
Melihat pertunjukan wayang kulit maupun wayang wong.
2.
Pertunjukan Wayang Wong (Wayang Orang) di Sriwedari pada
Tanggal 1 Sura
Dalam rangka menyambut 1 Sura di
Sriwedari, Solo, diadakan pertunjukan wayang
wong (wayang orang) semalam suntuk. Pertunjukan wayang wong khusus untuk menyambut 1 Sura itu merupakan wujud
perpaduan budaya yang di dalamnya ada unsure-unsur etis, estetis, filosofis,
dan religious. Kesenian wayang wong
merupakan seni tradisi yang bersumber pada cerita Ramayana dan Mahabharata.
Banyak ajaran dan nilai-nilai moral dalam cerita wayang wong yang diinterpretasikan oleh masyarakat Jawa dalam
kehidupan sehari-hari. Interpretasi masyarakat Jawa itu bisa dilihat dengan
adanya nama-nama tokoh wayang yang diberikan kepada anak keturunannya, memasang
tokoh wayang yang menjadi idolanya di dinding rumahnya, membuat puisi atau
tembang berdasarkan sifat tokoh wayang yang diidolakannya, membuat lukisan atau
membatik tokoh-tokoh wayang yang menjadi idolanya.
Pentas wayang wong 1 Sura bagi para pemain dan penonton mempunyai makna
yang dalam, yaitu laku tirakat untuk
introspeksi diri atas tingkah laku dan perbuatan yang selama ini telah ia
lakukan dan merenung tentang peristiwa-peristiwa dalam kehidupannya, lalu
melangkah menuju kebaikan. Pertunjukan wayang wong bagi para pemainnya bisa
dijadikan ajang silaturahmi di antara pemain yang berasal dari beberapa daerah.
Secara sosial pentas seni 1 Sura mampu meningkatkan solidaritas dan
kesetiakawanan antar sesama seniman wayang
wong. Pertunjukan wayang wong 1 Sura bagi penonton bisa dijadikan sebagai
laku tirakat agar tahan melek
semalam. Selain itu, juga bisa dijadikan ajang silaturahmi baik dengan rekan
maupun sanak saudara, serta bisa mengingatkan perilaku kita yang kurang baik
untuk diperbaiki menuju tingkah laku yang utama.
Sebagian besar penonton wayang wong 1 Sura di Sriwedari ini
berasal dari masyarakat kebanyakan yang menjadi penggemar setia pertunjukkan
wayang wong. Mereka kebanyakan berasal dari kota Solo, Boyolali, Sragen,
Karanganyar, Klaton dan Sukoharjo karena kota-kota tersebut jaraknya tidak
begitu jauh. Namun ada pula penonton yang temporal, maksudnya menonton karena
ajakan teman atau saudara.
Dalam pertunjukan wayang wong segala sesuatunya dilakukan
dengan tarian. Kesempurnaan hidup senantiasa tercermin di setiap tokoh dalam
bentuk contoh perilaku yang selalu membela kebenaran dan bersifat ksatria yang dilakonkan oleh
para ksatria. Pertunjukan wayang wong
Sriwedari semalam suntuk yang diselenggarakan untuk menyambut tahun baru Jawa merupakan
bentuk ekspresi individual dan kolektif masyarakat Jawa dan merupakan bentuk
tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun. Kaitan antara laku prihatin
1 Sura dengan nilai etika moral wayang
wong tetap mendasari etika Jawa dan masih relevan dengan kondisi kebutuhan
masyarakat pada zamannya. Tirakatan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Sura
merupakan upaya manusia untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan hidupnya. Selain
itu, juga menjadi ajaran Jawa untuk mencari kesempurnaan hidup lahir dan batin
melalui tirakat dan laku prihatin. Kepedulian masyarakat Jawa akan malam 1 Sura
dan pertunjukan wayang wong merupakan
suatu modal untuk melestarikan adat istiadat sekaligus untuk melestarikan
kesenian tradisional Jawa.
Daftar Pustaka :
1.
http/www.budayajawa.co.id
2.
Herawati Nenik. 2011. Mutiara
Kebudayaan Jawa. Surakarta : Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar