<object classid="clsid:D27CDB6E-AE6D-11cf-96B8-444553540000" codebase="http://download.macromedia.com/pub/shockwave/cabs/flash/swflash.cab#version=9,0,0,0" width="728" height="90">
<param name="movie" value="flashvortex.swf" />
<param name="quality" value="best" />
<param name="menu" value="true" />
<param name="allowScriptAccess" value="sameDomain" />
<embed src="flashvortex.swf" quality="best" menu="true" width="728" height="90" type="application/x-shockwave-flash" pluginspage="http://www.macromedia.com/go/getflashplayer" allowScriptAccess="sameDomain" />
</object>
FlashVortex.com
Senin, 07 Mei 2012
Minggu, 06 Mei 2012
Rabu, 02 Mei 2012
CERITA WAYANG
Sesaji
Raja Suya
Kacarita Prabu Brehidata (Darmawisesa) kagungan
garwa loro, kang loro-lorone anggarbini lan nglairake bareng. Nanging jabang
bayi saka garwa loro iku wujude ora sampurna, awake pisah klawan sirahe. Tumrap
Prabu Brehidata jabang bayi kui mau kaanggep bisa andadekake negara bakal akeh
sambekala. Mula jabang bayi kang ora sampurna mau banjur disingkirake dening
Prabu Brehidata. Diguwang ing satengahing alas kang adoh saka manungsa.
Ing
satengahe alas gung liwang-liwung ana sawijining jin kang ambaureksa aran Jin
Jara. Jabang bayi kang diguwang mau ditemu Jin Jara. Bayi kang wujude ora
sampurna kaya sak lumrahe jabang bayi banjur digathukake dening Jin Jara kang
sekti. Banjur digulawentah nganti dewasa lan dadi manungsa kang sekti
mandraguna kang duweni watak bengis, angkara murka, kang aran Jarasanda.
Dening
Jin Jara banjur dicaritani bibit sakawite utawa riwayate nganti diguwang
menyang alas dening ramane dewe (Prabu Brehidata). Jarasanda gumregah atine
banjur tuwuh krenteg bakal males marang ramane kang wis tega ngguwang dheweke. Jarasanda
mulih menyang negarane, ngadhepi ramane. Prabu Brehidata dibeset kulite dening
Jarasanda banjur kulite ramane mau didadekake piandele supaya tambah kasektene.
Jarasanda banjur madeg dadi ratu ngganteni Prabu Brehidata (ramane).
Jarasanda
ngikrarake awake bakal nguwasani Ngamarta lan Dwarawati, tanpa nggatekake caos
pemute para abdi dalem. Jarasanda kang kukuh lan angkara kepingin nguwasani
jagad raya. Satus negara bakal dikuwasani lan ditaklukake. Kabyantu Prabu
Supala uga pangglembuke Sengkuni. Kanggo mujudake krenteg atine mau Jarasanda
duwe karep nganakake sesaji awujud getihe ratu satus negara. Sesaji mau
katujokake marang Bathari Durga.
Amarga
niat ala mau nerak kodrating urip lan ngrusak katentreman jagad raya. Jarasanda
diadepi dening Bathara Wisnu, Prabu Kresna, Puntadewa, lan Baladewa. Prabu
Jarasanda utusan marang abdine aran Prabu Hamsa kinen nglurug menyang Ngamarta.
Prabu Jarasanda kapapag dening Setyaki. Setyaki ora lila yen Ngamarta
dikalahake dening Prabu Jarasanda. Ing peperangan Setyaki kasoran dening
Jarasanda.
Prabu
Kresna dhawuh marang Werkudara kinen mateni Prabu Jarasanda. Ing peperangan
Jarasanda mati dening Werkudara nanging bisa urip meneh. Saben-saben diperjaya
urip meneh, ngono sateruse. Werkudara banjur matur marang Prabu Kresna,
ngandharake apa kang dadi perkarane. Prabu Kresna paring wewarah marang
Werkudara bab pangapesane Prabu Jarasanda.
Prabu
Jarasanda bisa urip meneh saben-saben dipateni amarga duweni aji-aji yaiku
awake kang
kablebet kulite ramane. Prabu Jarasanda
bisa mati menawa awake ditugel dadi loro kaya nalika isih jabang bayi. Kocap
kacarita Prabu Jarasanda kang wis tanpa daya banjur ditugel awake dadi loro
dening Werkudara. Prabu Jarasanda tumekaning pati.
Sakpatine
Prabu Jarasanda, Yudhistira madeg ratu lan Prabu Kresna kang dadi pamonge.
Negara dadi ayem tentrem raharjo kalis ing sambekala.
Tokoh Protagonis :
v Bima / Werkudara
v Prabu Kresna
v Setyaki
v Bathara Wisnu
Tokoh
Antagonis :
v Jarasanda
v Hamsa
v Supala
v Sengkuni
v Jin Jara
KHASANAH BUDAYA SURAKARTA
TRADISI SURAN
A. Kalender Jawa dan Watak Tahun Jawa
1.
Kalender Jawa
Tradisi Suran tidak bisa dilepaskan
dengan penanggalan Jawa. Penanggalan Jawa yang juga disebut kalender Jawa,
tidak bisa dilepaskan dengan petungan
Jawa. Sultan Agung mengubah sistem penanggalan dari sistem matahari atau
syamsiyah menjadi sistem bulan atau komariah. Dasar penanggalan kalender
Hijriah dan kalender Jawa sama yakni penampakan bulan. Kalender Jawa merupakan penggabungan
antara kalender Saka dengan kalender Hijriah. Pergantian kalender Jawa dimulai
pada 1 Sura tahun Alif 1555 yang jatuh pada 1 Muharam 1042, sama dengan
kalender Masehi 8 Juli 1633. Nama-nama bulan kalender Jawa yaitu Sura, Sapar,
Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Syawal,
Dulkhaidah, Besar. Adapun nama hari kalender Jawa yaitu Senen, Seloso, Rebo,
Kemis, Jemuah, Setu, Ahad.
Sistem perhitungan Jawa oleh sebagian
besar masyarakat Jawa masih menjadi acuan untuk melakukan kegiatan atau menunda
pekerjaan. Misalnya saja sebagian besar masyarakat Jawa menghindari mempunyai
hajatan pada bulan Sura. Selain itu, masyarakat Jawa juga menghindari untuk
melakukan pindah rumah ataupun mantu pada bulan Sura. Menurut mereka, bulan
Sura adalah bulan yang keramat. Orang Jawa mempunyai keyakinan yang kuat
tentang bulan Sura ini karena bulan Sura merupakan dimensi waktu yang kurang
baik untuk melakukan segala sesuatu tentang pekerjaan.
Pada bulan Sura masyarakat Jawa
melakukan banyak laku prihatin, lebih-lebih menjelang tahun baru Jawa atau
menjelang 1 Sura. Laku prihatin itu dilakukan dengan cara tirakatan, seperti
tidak tidur semalam suntuk, lalu menyucikan diri dengan mandi air bunga setaman
yang airnya diambil dari dari tujuh sumber mata air. Tirakatan juga bisa
dilakukan dengan berjalan-jalan semalam suntuk, berjalan mengelilingi benteng
keraton dengan tapa bisu, dan bisa juga dilakukan dengan berendam di air
pertemuan (tempuran) dua sungai atau
lebih. Pada hari sebelum tanggal 1 Sura diadakan penjamasan benda-benda pusaka
baik milik keraton maupun milik pribadi. Budaya 1 Sura ini sampai sekarang
masih tetap berlangsung. Masyarakt Jawa masih memandang adanya keseimbangan
antara dunia mikrokosmos dengan makrokosmos. Nilai-nilai pergantian tahun Jawa
sebagai salah satu acuan dalam menghadapi tantangan hidup. Pada bulan 1 Sura
ini masyarakat pantang berpesta pora, tetapi justru giat melaksanakan kegiatan
ritual.
Ada usaha penyesuaian antara tahun
Hijriyah dengan tahun Jawa. Hal ini memang dimaksudkan agar hari besar Islam
dan hari besar masyarakat Jawa yang berorientasi pada nilai-nilai agama Islam
dapat bersifat sikretis. Namun demikian, tidak jarang tahun baru Hijriah dengan
tahun baru Jawa tidak bersamaan, berbeda beberapa hari.
2.
Watak Penanggalan Jawa
Masyarakat Jawa memiliki ilmu Titen
yakni mengamati peristiwa-peristiwa alam yang terjadi secara konsisten. Begitu
juga dalam peredaran hari yang didasarkan pada jatuhnya tanggal 1 Sura,
memiliki watak Bawana atau pengaruh tahun Jawa sebagai berikut.
a.
Apabila 1 Sura jatuh pada hari Senin disebut tahun Soma Wrejita atau disebut tahun cacing.
Pada tahun cacing akan terjadi banyak hujan.
b.
Apabila 1 Sura jatuh pada hari Selasa disebut tahun Anggara Wrejita atau disebut tahun
katak. Pada tahun katak ini juga akan terjadi banyak hujan.
c.
Apabila 1 Sura jatuh pada hari Rabu disebut Buda Wisaba atau disebut tahun kerbau.
Pada tahun kerbau juga akan terjadi banyak hujan.
d.
Apabila 1 Sura jatuh pada hari Kamis disebut Respati Mintuna atau disebut tahun mimi.
Pada tahun mimi akan terjadi banyak hujan pula.
e.
Apabila 1 Sura jatuh pada hari Jumat disebut Sukra Minangkara atau disebut tahun
udang. Tahun udang ini juga akan terjadi banyak hujan.
f.
Apabila 1 Sura jatuh pada hari Sabtu disebut Tumpak Menda atau tahun kambing. Pada
tahun kambing tidak banyak hujan.
g.
Apabila 1 Sura jatuh pada hari Minggu disebut Dite Kalaba atau disebut tahun kelabang.
Tahun kelabang mempunyai watak jarang hujan.
B. Persepsi Tanggal Satu Sura
1.
Satu Sura dianggap Sakral
Bagi masyarakat Jawa tanggal 1 Sura
dianggap sakral. Tanggal 1 Sura dan bulan Sura merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem dan keyakinan orang Jawa yang belum bisa meninggalkan
keyakinan lama yakni agama Hindu. Adat
istiadat Jawa tidak bisa dilepaskan dengan keyakinan Hindu dan Buddha tersebut.
Masyarakat Jawa memandang tanggal 1 Sura sebagai hari yang wingit dan sakral
sehingga perlu melakukan kegiatan yang sifatnya merenung, menyucikan diri,
prihatin dan banyak berdoa. Bulan Sura menjadi bulan yang penuh doa, banyak
introspeksi diri, menjauhi sifat yang mengumbar kesenangan, dan menghindari
pesta-pesta.
Masyarakat Jawa mempunyai keyakinan
dengan hal-hal yang berbau gaib, gejala alam, dan peristiwa-peristiwa alam.
Untuk menghormati hari yang sakral ini ada sebagian masyarakat Jawa yang
melakukan ritual, di antaranya:
a.
Dengan berpuasa;
b.
Berendam di pertemuan dua sungai (tempuran);
c.
Berjalan mengelilingi benteng keraton atau mengelilingi desa;
d.
Tapa bisu atau bertapa tidak berbicara;
e.
Tirakatan di tempat tertentu yang dianggap wingit;
f.
Melek atau tidur semalam suntuk;
g.
Penjamasan pusaka; dan
h.
Melihat pertunjukan wayang kulit maupun wayang wong.
2.
Pertunjukan Wayang Wong (Wayang Orang) di Sriwedari pada
Tanggal 1 Sura
Dalam rangka menyambut 1 Sura di
Sriwedari, Solo, diadakan pertunjukan wayang
wong (wayang orang) semalam suntuk. Pertunjukan wayang wong khusus untuk menyambut 1 Sura itu merupakan wujud
perpaduan budaya yang di dalamnya ada unsure-unsur etis, estetis, filosofis,
dan religious. Kesenian wayang wong
merupakan seni tradisi yang bersumber pada cerita Ramayana dan Mahabharata.
Banyak ajaran dan nilai-nilai moral dalam cerita wayang wong yang diinterpretasikan oleh masyarakat Jawa dalam
kehidupan sehari-hari. Interpretasi masyarakat Jawa itu bisa dilihat dengan
adanya nama-nama tokoh wayang yang diberikan kepada anak keturunannya, memasang
tokoh wayang yang menjadi idolanya di dinding rumahnya, membuat puisi atau
tembang berdasarkan sifat tokoh wayang yang diidolakannya, membuat lukisan atau
membatik tokoh-tokoh wayang yang menjadi idolanya.
Pentas wayang wong 1 Sura bagi para pemain dan penonton mempunyai makna
yang dalam, yaitu laku tirakat untuk
introspeksi diri atas tingkah laku dan perbuatan yang selama ini telah ia
lakukan dan merenung tentang peristiwa-peristiwa dalam kehidupannya, lalu
melangkah menuju kebaikan. Pertunjukan wayang wong bagi para pemainnya bisa
dijadikan ajang silaturahmi di antara pemain yang berasal dari beberapa daerah.
Secara sosial pentas seni 1 Sura mampu meningkatkan solidaritas dan
kesetiakawanan antar sesama seniman wayang
wong. Pertunjukan wayang wong 1 Sura bagi penonton bisa dijadikan sebagai
laku tirakat agar tahan melek
semalam. Selain itu, juga bisa dijadikan ajang silaturahmi baik dengan rekan
maupun sanak saudara, serta bisa mengingatkan perilaku kita yang kurang baik
untuk diperbaiki menuju tingkah laku yang utama.
Sebagian besar penonton wayang wong 1 Sura di Sriwedari ini
berasal dari masyarakat kebanyakan yang menjadi penggemar setia pertunjukkan
wayang wong. Mereka kebanyakan berasal dari kota Solo, Boyolali, Sragen,
Karanganyar, Klaton dan Sukoharjo karena kota-kota tersebut jaraknya tidak
begitu jauh. Namun ada pula penonton yang temporal, maksudnya menonton karena
ajakan teman atau saudara.
Dalam pertunjukan wayang wong segala sesuatunya dilakukan
dengan tarian. Kesempurnaan hidup senantiasa tercermin di setiap tokoh dalam
bentuk contoh perilaku yang selalu membela kebenaran dan bersifat ksatria yang dilakonkan oleh
para ksatria. Pertunjukan wayang wong
Sriwedari semalam suntuk yang diselenggarakan untuk menyambut tahun baru Jawa merupakan
bentuk ekspresi individual dan kolektif masyarakat Jawa dan merupakan bentuk
tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun. Kaitan antara laku prihatin
1 Sura dengan nilai etika moral wayang
wong tetap mendasari etika Jawa dan masih relevan dengan kondisi kebutuhan
masyarakat pada zamannya. Tirakatan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Sura
merupakan upaya manusia untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan hidupnya. Selain
itu, juga menjadi ajaran Jawa untuk mencari kesempurnaan hidup lahir dan batin
melalui tirakat dan laku prihatin. Kepedulian masyarakat Jawa akan malam 1 Sura
dan pertunjukan wayang wong merupakan
suatu modal untuk melestarikan adat istiadat sekaligus untuk melestarikan
kesenian tradisional Jawa.
Daftar Pustaka :
1.
http/www.budayajawa.co.id
2.
Herawati Nenik. 2011. Mutiara
Kebudayaan Jawa. Surakarta : Gramedia.
LEGENDA DALAM BAHASA JAWA
Wana Kethu
Kasebat
wonten ing jaman Kraton Demak, wonten satunggaling pawongan ingkang sekti
mandraguna ingkang jejuluk Ki Kesdik Wacana, ingkang nembe anglampahi tapa
wonten ing salah satunggaling redi ingkang kalebet wonten pareden Sewu
(pegunungan Seribu). Pareden kalawau kinupeng wana gung liwang-liwung ingkang
kathah sato kewan ingkang galak. Sasanesipun menika kaendahan alamipun sanget
edipeni. Dening panguwaos Kraton Demak, papan menika dipundadosaken papan
pariwisata tumrap para Raja.
Kacarita
wonten iring-iringan Raja ingkang dipundherekaken dening para pengiring lan
senopatinipun, saperlu badhe mbebedhag kidang. Kidang menika wonten ingkang
dipunagem pesta wonten ing wana, namung wonten ugi ingkang dipunbekta kondur
dhateng kraton. Papan ingkang kangge pesta kalawau tundhonipun dipunparinggi tetenger
Desa Seneng, ingkang tegesipun papan kangge seneng-seneng. Dumugi samenika
papan kalawau dados papan ingkang reja. Nate dipundadosaken markas Raden Mas Said utawi Pangeran
Sambernyawa kangge mengsah kompeni Walanda.
Ing
satunggaling wekdal, Raja Demak ngutus satunggaling abdinipun ingkang nami
Raden Panji saperlu amanggihi Pendhita Ki Kesdik Wacana, ingkang mengku wigati
sang Raja mundhut anak kidang ingkang sae, kangge klangenan wonten ing kraton.
Sang pendhita minangkani pamundhutipun sang Raja kasebut. Anak kidang kalawau
dipunlebetaken wonten ing satunggaling papan ingkang dipundamel saking pring
(bumbung) salajengipun dipuntutup. Bumbung kalawau dipunparingaken Raden Panji,
kanthi piweling (wanti-wanti) “Ampun ngantos dipunbikak tutupipun menawi dereng
dumugi wonten ngarsanipun sang Prabu ing Demak”.
Ing
salebeting penggalih Raden Panji tansah enget menapa ingkang dipundhawuhaken Ki
Kesdik Wacana bilih bumbung ingkang dipunparingaken mboten kepareng dipunbikak
menawi dereng dumugi ing ngarsanipun sang Prabu. Ingkang dados gumunipun, sang
Prabu ngersakaken anak kidang, ananging kenging menapa dening Ki Kesdik Wacana
malah dipunparingi bumbung ingkang dipunsumpet. Sanadyan mekaten Raden Panji
tansah enget piwelingipun Ki Kesdik.
Salajengipun
Raden panji dumugi wonten ing wana pejaten, Raden panji tansah mirsani bumbung
ingkang dipunasta, saengga tuwuh krenteg ing penggalihipun mbikak tutup bumbung
kalawau. Namung sasampunipun bumbung dipunbikak tutupipun, Raden Panji kaget
dumadakan saking salebeting bumbung kalawau medal sato kewan alit-alit ingkang
samsaya dangu samsaya ageng, pranyata sato-sato kewan kalawau mboten sanes
inggih menika kidang. Kidang-kidang kalawau cacahipun wonten 16 utawi 8 pasang,
sedayanipun sami mlajar dhateng wana.
Raden
Panji enggal-enggal mlajar nututi kidang-kidang ingkang mlajeng dhateng wana
kalawau ngantos kethunipun (kopyah) dhawah wonten satengahing wana, namung
mboten dipunpenggalih. Kidang- kidang kalawau boten saged kacepang dening Raden
Panji. Raden Panji rumaos getun. Dene sampun sembrana, nerak wewaleripun Ki
Kesdik Wacana. Raden Panji ajrih sanget menawi ing samangke sang Prabu duka.
Raden Panji badhe wangsul dhateng pertapanipun Ki Kesdik Wacana ugi mboten
wantun.
Awit
saking sekti mandraguna, Ki Kesdik Wacana saged mangertosi sedaya ingkang
kalampahan tumrap Raden Panji, lajeng Ki Kesdik Wacana nungka Raden Panji
dhateng wana. Wonten ing satengahing wana Ki Kesdik manggih kethunipun Raden
panji ingkang dhawah nalika nututi kidang. Dening Ki Kesdik papan kalawau
dipunparingi tetenger “Wana Kethu” (Alas Kethu). Papan menika kalebet wewengkon
ing tlatah Wonogiri. Ki kesdik wacana pinanggih kaliyan Raden Panji. Raden
Panji daya-daya sungkem wonten ngarsanipun Ki Kesdik nyuwun pangapunten dene
sampun tumindak lepat inggih menika nerak angger-anggeripun Ki Kesdik.
Ngawuningani
tangisipun Raden Panji, Ki Kesdik welas ing penggalihipun ananging sasintena
ingkang sampun tumindak lepat tetep kapatrapan pidana. Raden Panji dipun
sedakaken dados ‘kidang wulung’ ingkang mbaureksa wonten ing wana Kethu
kalawau.
Sinaosa
kados pundi sedaya kalawau boten namung cekap dipungetuni amargi sampun
kalajeng kapatrapan pidana. Raden Panji kedah nglampahi gesang ingkang enggal
minangka pangarsa sedaya kidang ing wana Kethu.
Langganan:
Postingan (Atom)